Kamis, 05 Februari 2009

alam Demokrasi yang kebablasan

Kemarin hasil dari yang namanya demokrasi telah kita lihat dengan jelas, nyawa akhirnya jadi tumbalnya, dan bahkan lebih banyak lagi sesuatu yang jadi korban untuk sebuah kata demokrasi

62 tahun sudah berlalu sejak proklamasi, sebagai awal dari lahirnya Indonesia, 62 tahun juga bangsa ini berada dalam alam kemerdekaan. Waktu yang tidak terlalu lama memang bila dibandingkan dengan masa terjajah yang dialami, namun ada baiknya bila kita merenungkan, akan seperti apa nasib bangsa ini selanjutnya? 

Setelah melalui perdebatan dan perjuangan politik, Indonesia akhirnya ditetapkan menjadi sebuah negara penganut demokrasi. Perebutan kuasa antar tokoh baik yang berlatar Komunis, Nasionalis dan Islam mewarnai perjalanan sejarah tanah Ibu Pertiwi. Keinginan para tokoh Islam untuk memberikan porsi lebih banyak kepada Islam menjadi sebuah catatan tersendiri. Salah satu tuntutan yang diperjuangkan adalah pemberlakuan kembali Piagam Jakarta. Akan tetapi, tuntutan ini selalu kandas. NU sebagai organisasi umat Islam terbesar di negara ini akhirnya memunculkan sebuah jargon politik waliy al-amr ad-dharury bi as-syaukah, sebagai sebuah alternatif. 

Perjuangan untuk menjadikan Syariat Islam sebagai sebuah sistem dalam kehidupan bernegara masih terus berlangsung, terbukti dengan muncul perda-perda yang bernuansa syari’ah. Tulisan ini tidak hendak mengkaji masalah tersebut, hanya ingin menyumbang buah fikir dan referensi, bagaimana dan seperti apa sesungguhnya Hukum (baca: Syariat) Islam? Dimana letak perbedaannya dengan Demokrasi? Dengan harapan kiranya bisa menambah wawasan kita, anak bangsa ini. 

Hukum Islam 

Dilihat dari etimologi, istilah “Hukum” berasal dari kata Hakama-Hukman-Hukumatan, yang berarti al-Qadha’ atau keputusan, al-Qarar atau as-Saytarah yang berarti ketetapan. Menurut Abdul Qadim Zallum kalimat al-Hukum, al-Mulk (kekuasaan) dan as-Sulthan (Penguasa) memiliki makna yang sama, yaitu kekuatan yang mampu menerapkan undang-undang, atau aktifitas pemerintahan yang diwajibkan oleh Syariat atas kaum muslimin, aktifitas ini adalah sebuah kekuatan yang digunakan untuk menolak kezaliman, melerai sengketa atau dengan kata lain hukum adalah kekuasaan pemerintah. Sedangkan aj-Jurjani mendefinisikan dengan lebih singkat, yaitu meletakkan sesuatu pada tempat yang seharusnya (1421 H : 91) 

Prof Abu Zuhrah dalam kitab Ushul Fiqh mengatakan, definisi hukum menurut kalangan ulama ushul adalah khitab (firman) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan hamba yang mukallaf, baik khitab itu berupa tuntutan (wajib atau sunnat) atau kebolehan memilih (baca: mubah) atau berupa wadh’i yakni sebuah bentuk aturan yang sifatnya sebagai penghubung yang kemudian diklasifikasi dengan sebab, syarat dan penghalang. (Prof. Abu Zuhrah, tt: 27) 

Menurut Abdul Wahhab Khalaf, salah satu yang menjadi kesepakatan para ulama meskipun mereka berbeda mazhab adalah bahwa setiap yang timbul dari manusia, baik itu berupa perkataan maupun perbuatan, apapun bentuknya seperti ibadah, muamalah (sosial), tindak pidana ataupun lainnya, memiliki satu batasan hukum (Abdul Wahhab Khalaf, 1398 H/1978 M : 11). Hukum ini sebagian diterangkan dengan nash (tekstual) dari Alquran dan Assunnah, sebagian lagi tidak diterangkan secara jelas, namun syariat telah memberikan indikasi akan adanya hukum itu. 

Berdasarkan definisi hukum di atas, tidak ada yang memiliki wewenang hukum selain Allah SWT. Karena syariat Islam adalah sebuah undang-undang agama yang semuanya dikembalikan kepada wahyu langit (baca: Alquran), maka yang berkedudukan sebagai pemilik wewenang hukum (baca: Hakim) adalah Allah SWT (Prof. Abu Zuhrah, tt : 69), setiap jalan untuk mengenal hukum merupakan sistem untuk mengenal hukum Allah SWT dan kedudukan manusia hanyalah sebagai khalifah atau wakil yang bertugas menerapkan ketetapan hukum tersebut. Jadi di dalam Islam tidak ada wewenang bagi siapapun untuk menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah SWT. Kendati demikian tidak semua kejadian dijelaskan hukumnya secara rinci dalam Alquran, karena Alquran bukanlah sebuah kitab undang-undang, namun sebuah kitab kumpulan firman Allah SWT yang merupakan sumber bagi pembuatan undang-undang. 

Kumpulan hukum yang tidak diterangkan secara tekstual dalam Alquran dan Assunnah, namun telah digali oleh para ulama dan dirumuskan disebut dengan fiqh. Para ulama telah menetapkan bahwa dalil atau sandaran untuk merumuskan hukum harus dikembalikan kepada empat, yaitu: Alquran, Assunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dan yang menjadi asas bagi yang empat ini adalah Alquran, kemudian baru Assunnah yang menafsirkan, mengkhususkan, mengaitkan, menjelaskan dan menyempurnakan apa yang disebutkan dalam Alquran. Sedangkan Ijma’ adalah konsensus para mujtahid yang merupakan refresentatif umat di suatu dekade sesudah wafatnya Rasulullah SAW untuk menetapkan hukum dari sebuah kejadian.1 Otoritas Ijma’ dijamin oleh hadits. Adapun Qiyas adalah analogi suatu kejadian yang hukumnya belum ditetapkan Syariat kepada yang sudah ditetapkan berdasarkan Alquran atau Assunnah, karena memiliki kesamaan esensi dan sifat-sifat diantara dua kejadian itu. 

Klasifikasi Hukum Islam 

Dari sudut pandang ilmu ushul fiqh, hukum terbagi kepada dua bagian dasar yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Hukum Taklifi adalah Hukum yang berisi dengan tuntutan-tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan maupun tuntutan untuk meninggalkan ataupun kebolehan untuk memilih. Sedangkan Hukum Wadh’i adalah hukum yang sifatnya bukan sebuah perintah, larangan dan kebolehan, namun sebuah bentuk aturan yang sifatnya sebagai penghubung yang kemudian diklasifikasi dengan sebab, syarat dan penghalang. 

Berbeda dengan ulama ushul, ulama fiqh mengkategorikan hukum dengan memandang kepada produk jadi hukum tersebut, yaitu: 

1. Ibadat 

Yaitu: Hukum yang mengatur hubungan individu dengan Tuhannya, yang terdiri dari Puasa, Sholat dan lain-lainnya yang berakibat pada kontrol diri dan kebaikan pribadi serta keberuntungan yang menyeluruh (Lihat Qs. al-Isra: 78, al-Baqarah: 183, al-Imran: 97). 

2. Ahkam Usrah 

Yaitu: Hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban individual dari lahir hingga wafatnya, yang terdiri dari Penyusuan, Pengampuan/Pengasuhan, Pencekalan, Perwalian, Perkawinan, Talak, Nafkah, Wasiat dan yang berhubungan dengan keadaan peninggalan dan lain-lainnya. Hal ini terkandung dalam Alquran sekitar 70 ayat, diantaranya Qs. ar-Rum: 21, ath-Tholaq: 1, an-Nisa: 11, al-Baqarah: 233. 

3. Ahkam Mu’amalah Maliyah 

Yaitu: Hukum yang mengatur hubungan antar personal yang berkaitan dengan mu’amalat (interaksi) diantara sesama mereka dari transaksi-transaksi, seperti Jual-beli, Sewa-menyewa, Gadai, Penunaian Transaksi dan Amanah. Hal ini diantaranya terkandung secara global dalam Alquran sekitar 70 ayat, diantaranya Qs. an-Nisa: 29, Ali-Imran: 130, al-Baqarah: 82. 

4. Ahkam Maliyah ad-Daulah 

Yaitu: Hukum yang mengatur pemasukan/pendapatan dan pengeluaran negara (APBN), sebagaimana hukum yang mengatur hubungan harta antara orang kaya dengan orang miskin, antara negara dengan warganya. Yang mengatur perbelanjaan dan pendapatan negara yang terdiri dari Kharaj, Zakat, Fay’i, Ghanimah dan lainnya. Terkandung dalam Alquran sekitar 10 ayat, diantaranya Qs. al-Anfal: 1, al-Anfal: 41, at-Taubah: 60. 

5. Ahkam Dusturiyah 

Yaitu: Hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara, dan batasan-batasan hak dan kewajiban keduanya. Dasar-dasar hukum ini terkandung secara global dalam Alquran sekitar 12 ayat, seperti dasar musyawarah dalam Qs. asy-Syura: 38, dasar hukum saling menjamin dalam Qs: al-Maidah: 2, patuh pada pemerintah dalam Qs. an-Nisa: 59. 

6. Ahkam ad-Dauliyah 

Yaitu: Hukum yang mengatur hubungan antar negara, baik dalam keadaan damai maupun perang, seperti Perlakuan terhadap tawanan, perjanjian, perdamaian dan gencatan senjata, penetapan hak dan kewajiban ahlu dzimmi. Dasar-dasar hukum ini terkandung secara global dalam Alquran sekitar 25 ayat, diantaranya Qs. al-Anfal: 61, at-Taubah: 36, Muhammad: 4, al-Baqarah: 190. 

7. Ahkam al-Murafa’at 

Yaitu: Hukum yang mengatur sistem peradilan, yang terdiri dari pengajuan dakwaan kehadapan hukum dengan keputusan yang menyatakan keadilan sempurna dan (keputusan yang membantu) setiap orang yang memiliki hak bisa mendapatkan haknya, seperti: Dakwaan, Saksi, Sumpah, Keputusan Pengadilan dan kewajiban untuk menegakkan keadilan. Secara global hukum ini terkandung dalam sekitar 13 ayat Alquran, diantaranya: Qs. al-Baqarah: 82, al-Maidah: 45. 

8. Al-Jinayat wa al-‘Uqubat 

Yaitu: Hukum yang mengatur tentang tindak pidana dan hukumannya. Hukum ini berfungsi untuk melindungi aqidah/agama, kehormatan pribadi, harta, akal dan anggota tubuh. Yang dimaksud dengan Jinayat adalah perbuatan manusia yang menyakiti baik menyakiti diri sendiri apalagi orang lain, seperti membunuh, menuduh berzina (qadzaf), mencuri, melakukan perzinahan, meminum khamar, membegal dll. Sedangkan yang dimaksud dengan Uqubat adalah hukuman yang terdiri dari Qishash, Hudud, dan Ta’zir. Secara global hukum al-Jinayat wa al-‘Uqubat ini terkandung dalam hampir 30 ayat Alquran, diantaranya: Qs. al-Baqarah: 178, al-Maidah: 38.

BERBEDA dengan Hukum Islam, Demokrasi adalah hasil akal budi manusia di bumi, yang pertama-tama bersandar pada asas vox populi vox Dei (suara manusia sebagai suara Tuhan). Merupakan sebuah bentuk/sistem pengelolaan pemerintahan yang embrionya dikembangkan di negara kota Athena zaman Pericles di abad kelima dan keempat sebelum Masehi. 

Demokasi sebagai sistem yang berdaulat bermula dari revolusi Perancis tahun 1789 M, meskipun sistem perwakilan parlemen ini telah bermula di Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran sesungguhnya prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemikiran Demokrasi telah tersebar sebelum terjadinya revolusi Perancis selama beberapa puluh tahun, yaitu dalam tulisan-tulisan John Lock. Montesque, Jan Jack, orang-orang yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar kedaulatan rakyat. 

Arti Demokrasi menurut para penganutnya adalah: kedaulatan rakyat. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas, tidak dikendalikan oleh kekuasaan apa pun selainnya. Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam membuat perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini terkadang rakyat mewakilkannya kepada orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para wakil tersebut mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan. Disebutkan dalam Mausu’atus Siyasah: Semua negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu, bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya, pada intinya demokrasi itu adalah kedaulatan di tangan rakyat. 

Adapun Demokrasi Perwakilan: “Yaitu bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat. Maka parlemen dalam Demokrasi Perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah berasal dari Inggris dan Perancis kemudian berpindah ke negara-negara lain. 

Yang menjadi landasan hukum Demokrasi adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi daripadanya sehingga kekuasaannya itu berasal dari rakyat tanpa ada batasan apa pun. Maka rakyat berhak berbuat apa saja dan membuat undang-undang semaunya tanpa ada seorang pun yang berhak untuk mengkritisinya. Dan hal semacam ini sesungguhnya merupakan hak preogratif Allah, sebagaimana Firman Allah SWT: 

"Sesunguhnya Allah menetapkan hukum menurut kehendaknya, tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya” (Qs ar-Ra’d: 41) 

“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum menurut yang dikehendakiNya” (Qs. al-Maidah: 1). 

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (Qs. al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67). 

“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (Qs. al-Hajj: 14). 

Secara ringkas, Demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari Allah kepada manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat undang-undang. Dengan demikian maka Demokrasi menjadikan manusia sebagai Rabb (Tuhan) selain Allah, dan menjadikan manusia sekutu bagi Allah dalam membuat undang-undang. Dan perbuatan ini adalah Kufur Akbar yang tidak ada keragu-raguan lagi padanya. 

Dengan ungkapan yang lebih detail lagi adalah bahwa Rabb (Tuhan) baru dalam Demokrasi adalah “kemauan manusia”. Sekelompok manusia membuat undang-undang sesuai dengan pemikiran dan kemauannya tanpa ada pembatas apa pun. 

“Terangkanlah kepadaKu, tentang orang yang menjadikan keinginannya sebagai Ilahnya (Tuhannya). Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu” (Al-Furqan: 43-44). 

Hal ini berarti menjadikan Demokrasi sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah rakyat, dan ini jelas bertentangan dengan Dinul Islam yang menegaskan bahwa pemegang kedaulatan adalah Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitabul Adab dengan sanad shahih, “Penguasa itu Allah Tabaroka wa Ta’ala”. 

Ketika menerangkan penuhanan manusia di dalam Demokrasi, Ustadz Abul A’la Al-Maududi pendiri organisasi besar Ikhwanul Muslimin Mesir mengatakan, “Dasar-dasar kebudayaan Barat sesungguhnya, yaitu kebudayaan modern yang menjadi landasan peraturan hidup pada masa sekarang ini, dengan berbagai macam cabang-cabangnya, baik akidah, akhlak, perekonomian, politik dan intelektual, berfokus pada tiga pokok yaitu prinsip-prinsip pokok berikut: a) Sekulerisme, b) Nasionalisme, b) Demokrasi. (Selanjutnya beliau mengatakan) Adapun prinsip ketiga adalah Demokrasi atau Penuhanan terhadap manusia. Dengan menggabungkannya dua prinsip sebelumnya maka sempurnalah gambar bencana dan kelelahan-kelelahan dunia ini. Telah kukatakan tadi bahwa pengertian Demokrasi dalam kebudayaan modern adalah berkuasanya rakyat, artinya setiap penduduk negara merdeka pada segala hal yang berkaitan dengan merealisasikan kemaslahatan sosial mereka, dan perundang-undangan negara tersebut haruslah mengikuti keinginan mereka. (Sampai beliau mengatakan): Jika kita perhatikan prinsip tersebut, sekarang kita dapatkan bahwa Sekulerisme telah melepaskan manusia dari peribadahan, ketaatan dan ketakutan kepada Allah serta melepaskan dari ikatan-ikatan akhlak yang telah ditetapkan dan melepaskan tali belenggunya serta menjadikan mereka hamba diri mereka sendiri tanpa pertanggungjawaban di hadapan siapa pun. 

(Kemudian Al-Maududi mengatakan) Dan saya katakan kepada umat Islam dengan terus terang: Sesungguhnya Demokrasi, Nasionalisme, dan Sekulerisme bertentangan dengan agama dan akidah yang kalian yakini dan jika kalian tunduk kepadanya maka benar-benar kalian telah meninggalkan Kitabullah di belakang kalian dan jika kalian ikut serta dalam menegakkannya atau dalam melanggengkannya (yakni Demokrasi, Nasionalisme dan Sekulerisme) maka berarti kalian telah mengkhianati Rasul kalian yang telah Allah utus kepada kalian. (Sampai beliau mengatakan) Maka selama sistem ini masih ada maka kami menganggap bahwa Islam itu tidak ada dan jika Islam itu ada maka tidak ada tempat bagi sistem ini. 

Bila dalam demokrasi yang dicetuskan Barat, kedaulatan ada pada rakyat dan sebagai representatif adalah parlemen (padahal menurut Muammar Qathafi, “Bentuk kediktatoran paling tiran yang dikenal di dunia ini berada dibawah bayang-bayang parlemen”), maka dalam Islam ada satu bentuk sistem yang mirip yaitu yang dinamakan Majlis Syura. Akan tetapi kedaulatan yang dipegang oleh Majlis Syura tidaklah sebesar Parlemen, karena Majlis Syura hanya merumuskan hal-hal yang tidak bertentangan dengan Alquran dan al-Hadits. Karena menurut Islam kekuasaan yang sesungguhnya ada pada Allah SWT, dan Allah SWT telah mengutus rasul-Nya yang menyampaikan Alquran dan al-Hadist sebagai sumber hukum. 

Memang sebagian kalangan yang berpendapat bahwa Majlis Syura adalah sama dengan Parlemen sebagaimana dituturkan oleh Syed Ibrahim bin Syed Abdurrahman dari Malaysia. Namun beliau menambahkan, “Tetapi dalam kontek Perlembagaan Islam, Majlis Syura adalah dianggotai oleh bilangan yang lebih kecil dianggap mereka yang layak dari segi peribadi, berilmu, wibawa dan taqwa. Jika Majlis Syura ini diwujudkan, ianya adalah lebih tinggi tarafnya daripada Parlimen (Parlemen. Pen) dan boleh menegur untuk pinda sebarang (segala macam. Pen) undang-undang yang diluluskan oleh Parlimen dan kuasa ini mengikut kaedah sekarang adalah sebahagian daripada kuasa kehakiman. Dalam kontek Islam Majlis Syura berperanan sebahagian daripada peranan eksekutif iaitu pembuat dasar dan sebahagian lagi berperanan sebagai peranan kehakiman iaitu mengawasi undang-undang yang dibuat oleh Parlimen.” 


Renungan 

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan adanya perbedaan yang jelas antara Hukum Islam dan Demokrasi ala Barat, Dalam Islam sumber hukum adalah Alquran dan al-Hadits, sedangkan dalam demokrasi sumber hukum adalah semata-mata akal manusia, dan manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat kerusakan (Lihat Qs. al-Baqarah: 30), serta sedikit sekali dari mereka yang selamat dari ajaran kesesatan Iblis, sebagaimana terekam dalam Qs. al-Israa’: 62, “Dia (Iblis) berkata: Terangkan kepadaku inikah orang yang Engkau muliakan atas diriku? (yakni Nabi Adam), sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil”. Sehingga kalau kita membuat suatu undang-undang berdasarkan akal semata tidak mustahil akan menghasilkan sebuah peraturan yang hanya akan berkiblat kepada nafsu belaka. Alangkah baiknya bila kita merenungkan ayat Alquran berikut: 

Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin” (Qs. al-Maaidah:56) 

“Barangsiapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maidah:44) 

Masihkah kita mempertahankan sistem yang selama ini dianut, ataukah akan berpaling kepada Islam? Jawabannya ada pada kita masing-masing.***

Oleh: Abu Zein Fardany* 

0 komentar:

Posting Komentar

Makasih atas kunjungannya