Rabu, 25 Februari 2009
Ihklas
ikhlas sebenarnya adalah sebuah kalimat yang begitu singkat namun dalam penerjemahan dan aplikasinya sangatlah luas, sehingga penilaian akan kata ini begitu sulit, sampai ada sebagian orang berkata penilaiannya hanya dapat diketahui oleh pribadi yang mengucapkannya dan Tuhan saja,
ikhlas butuh waktu untuk memahaminya....butuh kesabaran,tabah dan tawakal.
terkadang memang ada perlawanan dihati ketika kita mencoba merasa ikhlas....hati akan berontak,tapi saat itulah kita diuji apakah kita ikhlas menjalaninya,menghadapinya.....apakah kita bisa memendam rasa marah dan mengeluarkan apa kata hati kita yaitu ikhlas tadi.
mendekatkan diri ke Tuhan seperti sering mendengar ceramah di masjid juga akan memperkuat iman dan rasa ikhlas sejalan dengan siapa kita bergaul,berinteraksi dalam menjabarkan/melaksanakan ikhlas.
Ikhlas mungkin dapat kita miliki dengan cara belajar dan menyerahkan semua hanya kepadaNya saja,
“Harga sebuah keikhlasan itu sebenarnya hanya Tuhan yang memilikinya” sedang kita manusia hanya bisa mengira, keikhlasan bisa kita lihat pada sebuah contoh yaitu orang tua kita (Ibu) dari saat dia mengandung hingga merawat kita, tanpa ada pamrih apapun juga. Semoga kita mampu mengaplikasikan Ikhlas ini dalam keseharian kita, karena ikhlas adalah sebuah perbuatan yang lahir tanpa mengharapkan apa pun sebagai imbalannya kecuali ridho dari Illahi saja, bukan dari makhluk, karena ketika kita masih berharap sesuatu selain dari Tuhan, maka hal itu bukan termasuk dalam ikhlas namun masih mengharapkan pamrih, ikhlas adalah perbuatan yang sangat sulit di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari kita, hanya satu cara agar kita bisa melaksanakannya terus belajar dan berdoa agar kita mampu di berikan kekuatan untuk bisa menerima sesuatu itu tanpa pamrih kecuali ridho Illahi saja.
Selasa, 24 Februari 2009
MAKNA KETULUSAN
Satu hal yang mungkin sudah terlupakan. Padahal ketulusan adalah satu hal penting yang mewarnai kehidupan kita. Dalam setiap tindakan, tingkah laku kita baik vertikal maupun horisontal. Perbuatan yang dilakukan lebih sering diiringi dengan harapan supaya orang lain berbuat hal yang sama kepada kita. Sedikit orang yang berbuat karena ia benar-benar ingin berbuat. Hubungan timbal balik atau juga hukum apabila maka dalam istilah matematikanya dikenal dengan istilah implikasi, lebih banyak mempengaruhi tindakan seseorang. Apabila si A baik maka aku juga harus baik. Apabila si B tidak mau membantu maka aku juga tidak mau menolong.
Ingatkah kapan terakhir kali kita melakukan sesuatu dengan ikhlas tanpa ada embel-embel atau pun udang dibalik batu ? Adakah perbuatan yang kita lakukan yang berasal dari dorongan hati nurani yang penuh keikhlasan tanpa mengharap imbalan ? Marilah kita mengingat kembali makna dari ketulusan yang sudah mulai terlupakan. Ketulusan sepadan dengan ikhlas, rela ataupun ridho. Ketika seorang sahabat pernah bertanya pada Nabi tentang makna dan hakikat ketulusan, atau yang lazim disebut pula keikhlasan. Saat itu Nabi sall-Allahu 'alaihi wasallam tidak langsung menjawabnya, melainkan berjanji untuk menanyakannya terlebih dahulu pada Malaikat Utama, Jibril 'alaihis salam. Jibril yang ditanya oleh Nabi (Sall-Allahu 'alaihi wasallam) akan makna ketulusan ini pun, tidak berani langsung menjawabnya, dan berkata bahwa ia akan menanyakannya pada Mikail 'alaihissalam. Demikian pula Mikail pun tak berani langsung menjawabnya, dan terus bertanya kepada 'Izrail 'alaihissalam. Dan 'Izrail pun bertanya pada Israfil 'alaihissalam, hingga yang terakhir ini pun tak mampu menjawab langsung, dan menanyakannya langsung pada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apakah jawaban Allah? "Huwa sirru min asraarii" "Dia (Ketulusan) adalah suatu rahasia di antara rahasia-rahasia-Ku". Ya, suatu rahasia antara Ia SWT dengan hamba-Nya....
Yah...tak ada yang bisa menjelaskan makna yang ada dalam ketulusan kecuali ketulusan seorang hamba pada Sang Khalik karena ketulusan bukan suatu hal yang dapat didiskusikan ataupun hanya diuraikan dengan kata-kata indah, namun harus dirasakan secara langsung. Ketulusan kita dalam beribadah pada Allah, ketulusan dalam menghadapi cobaan dari Allah dan lain hal yang bila disebutkan bahkan berlembar-lembar tulisan ini pun tak akan pernah habis.
Dalam QS. 76:9, "....hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." Bila kita dapat menjalani hidup seperti kutipan ayat tersebut, ketenangan dan kedamaian akan labih dapat kita rasakan. Karena tanpa ketulusan terkadang perbuatan yang kita lakukan hanya akan menimbulkan rasa benci dan dendam. Harga dari ketulusan bukanlah kita yang menilai namun merupakan rahasia sang Khalik dan diri kita sendiri.
Keringnya oase ketulusan dalam kehidupan telah nampak. Padahal sejak dalam kandungan kita sudah diajari tentang ketulusan. Namun makna itu luntur seiring dengan berjalannya waktu. Ketulusan dalam berinteraksi dengan sesama manusia."Bila semua sudah ada dalam ketulusan dan kesejatian,
maka untuk apa lagi kita harus berduka..., hanya kepda
4JJI kita menggantungkan segalanya."
Selasa, 17 Februari 2009
Hikmah Kematian
tidak menyadari bahwa hari-hari yang anda lewati justru semakin
mendekatkan anda kepada kematian sebagaimana juga yang berlaku bagi
orang lain?
Seperti yang tercantum dalam ayat "Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. "
(QS. 29:57) tiap orang yang pernah hidup di muka bumi ini ditakdirkan
untuk mati. Tanpa kecuali, mereka semua akan mati, tiap orang. Saat
ini, kita tidak pernah menemukan jejak orang-orang yang telah
meninggal dunia. Mereka yang saat ini masih hidup dan mereka yang
akan hidup juga akan menghadapi kematian pada hari yang telah
ditentukan. Walaupun demikian, masyarakat pada umumnya cenderung
melihat kematian sebagai suatu peristiwa yang terjadi secara
kebetulan saja.
Coba renungkan seorang bayi yang baru saja membuka matanya di dunia
ini dengan seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut. Keduanya
sama sekali tidak berkuasa terhadap kelahiran dan kematian mereka.
Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan nafas bagi kehidupan
atau untuk mengambilnya.
Semua makhluk hidup akan hidup sampai suatu hari yang telah
ditentukan dan kemudian mati; Allah menjelaskan dalam Quran tentang
prilaku manusia pada umumnya terhadap kematian dalam ayat berikut ini:
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang
nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."
(QS. 62:8)
Kebanyakan orang menghindari untuk berpikir tentang kematian. Dalam
kehidupan modern ini, seseorang biasanya menyibukkan dirinya dengan
hal-hal yang sangat bertolak belakang [dengan kematian]; mereka
berpikir tentang: di mana mereka akan kuliah, di perusahaan mana
mereka akan bekerja, baju apa yang akan mereka gunakan besok pagi,
apa yang akan dimasak untuk makan malam nanti, hal-hal ini merupakan
persoalan-persoalan penting yang sering kita pikirkan. Kehidupan
diartikan sebagai sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari.
Pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa
tidak nyaman mendengarnya. Mereka menganggap bahwa kematian hanya
akan terjadi ketika seseorang telah lanjut usia, seseorang tidak
ingin memikirkan tentang kematian dirinya yang tidak menyenangkannya
ini. Sekalipun begitu ingatlah selalu, tidak ada yang menjamin bahwa
seseorang akan hidup dalam satu jam berikutnya. Tiap hari, orang-
orang menyaksikan kematian orang lain di sekitarnya tetapi tidak
memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian
dirinya. Ia tidak mengira bahwa kematian itu sedang menunggunya!
Ketika kematian dialami oleh seorang manusia, semua "kenyataan" dalam
hidup tiba-tiba lenyap. Tidak ada lagi kenangan akan "hari-hari
indah" di dunia ini. Renungkanlah segala sesuatu yang anda dapat
lakukan saat ini: anda dapat mengedipkan mata anda, menggerakkan
badan anda, berbicara, tertawa; semua ini merupakan fungsi tubuh
anda. Sekarang renungkan bagaimana keadaan dan bentuk tubuh anda
setelah anda mati nanti.
Dimulai saat anda menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya,
anda tidak ada apa-apanya lagi selain "seonggok daging". Tubuh anda
yang diam dan terbujur kaku, akan dibawa ke kamar mayat. Di sana, ia
akan dimandikan untuk yang terakhir kalinya. Dengan dibungkus kain
kafan, jenazah anda akan di bawa ke kuburan dalam sebuah peti mati.
Sesudah jenazah anda dimasukkan ke dalam liang lahat, maka tanah akan
menutupi anda. Ini adalah kesudahan cerita anda. Mulai saat ini, anda
hanyalah seseorang yang namanya terukir pada batu nisan di kuburan.
Selama bulan-bulan atau tahun-tahun pertama, kuburan anda sering
dikunjungi. Seiring dengan berlalunya waktu, hanya sedikit orang yang
datang. Beberapa tahun kemudian, tidak seorang pun yang datang
mengunjungi.
Sementara itu, keluarga dekat anda akan mengalami kehidupan yang
berbeda yang disebabkan oleh kematian anda. Di rumah, ruang dan
tempat tidur anda akan kosong. Setelah pemakaman, sebagian barang-
barang milik anda akan disimpan di rumah: baju, sepatu, dan lain-lain
yang dulu menjadi milik anda akan diberikan kepada mereka yang
memerlukannya. Berkas-berkas anda di kantor akan dibuang atau
diarsipkan. Selama tahun-tahun pertama, beberapa orang masih
berkabung akan kepergian anda. Namun, waktu akan mempengaruhi ingatan-
ingatan mereka terhadap masa lalu. Empat atau lima dasawarsa
kemudian, hanya sedikit orang saja yang masih mengenang anda. Tak
lama lagi, generasi baru muncul dan tidak seorang pun dari generasi
anda yang masih hidup di muka bumi ini. Apakah anda diingat orang
atau tidak, hal tersebut tidak ada gunanya bagi anda.
Sementara semua hal ini terjadi di dunia, jenazah yang ditimbun tanah
akan mengalami proses pembusukan yang cepat. Segera setelah anda
dimakamkan, maka bakteri-bakteri dan serangga-serangga berkembang
biak pada mayat tersebut; hal tersebut terjadi dikarenakan ketiadaan
oksigen. Gas yang dilepaskan oleh jasad renik ini mengakibatkan tubuh
jenazah menggembung, mulai dari daerah perut, yang mengubah bentuk
dan rupanya. Buih-buih darah akan meletup dari mulut dan hidung
dikarenakan tekanan gas yang terjadi di sekitar diafragma. Selagi
proses ini berlangsung, rambut, kuku, tapak kaki, dan tangan akan
terlepas. Seiring dengan terjadinya perubahan di luar tubuh, organ
tubuh bagian dalam seperti paru-paru, jantung dan hati juga membusuk.
Sementara itu, pemandangan yang paling mengerikan terjadi di sekitar
perut, ketika kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas dan tiba-
tiba pecah, menyebarkan bau menjijikkan yang tak tertahankan. Mulai
dari tengkorak, otot-otot akan terlepas dari tempatnya. Kulit dan
jaringan lembut lainnya akan tercerai berai. Otak juga akan membusuk
dan tampak seperti tanah liat. Semua proses ini berlangsung sehingga
seluruh tubuh menjadi kerangka.
Tidak ada kesempatan untuk kembali kepada kehidupan yang sebelumnya.
Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bersosialisasi atau
memiliki pekerjaan yang terhormat; semuanya tidak akan mungkin
terjadi.
Singkatnya, "onggokkan daging dan tulang" yang tadinya dapat
dikenali; mengalami akhir yang menjijikkan. Di lain pihak, anda –
atau lebih tepatnya, jiwa anda – akan meninggalkan tubuh ini segera
setelah nafas anda berakhir. Sedangkan sisa dari anda – tubuh anda –
akan menjadi bagian dari tanah.
Ya, tetapi apa alasan semua hal ini terjadi?
Seandainya Allah ingin, tubuh ini dapat saja tidak membusuk seperti
kejadian di atas. Tetapi hal ini justru menyimpan suatu pesan
tersembunyi yang sangat penting
Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya
menyadarkan dirinya bahwa ia bukanlah hanya tubuh semata, melainkan
jiwa yang "dibungkus" dalam tubuh. Dengan lain perkataan, manusia
harus menyadari bahwa ia memiliki suatu eksistensi di luar tubuhnya.
Selain itu, manusia harus paham akan kematian tubuhnya - yang ia coba
untuk miliki seakan-akan ia akan hidup selamanya di dunia yang
sementara ini -. Tubuh yang dianggapnya sangat penting ini, akan
membusuk serta menjadi makanan cacing suatu hari nanti dan berakhir
menjadi kerangka. Mungkin saja hal tersebut segera terjadi.
Walaupun setelah melihat kenyataan-kenyataan ini, ternyata mental
manusia cenderung untuk tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak
disukai atau diingininya. Bahkan ia cenderung untuk menafikan
eksistensi sesuatu yang ia hindari pertemuannya. Kecenderungan
seperti ini tampak terlihat jelas sekali ketika membicarakan
kematian. Hanya pemakaman atau kematian tiba-tiba keluarga dekat
sajalah yang dapat mengingatkannya [akan kematian]. Kebanyakan orang
melihat kematian itu jauh dari diri mereka. Asumsi yang menyatakan
bahwa mereka yang mati pada saat sedang tidur atau karena kecelakaan
merupakan orang lain; dan apa yang mereka [yang mati] alami tidak
akan menimpa diri mereka! Semua orang berpikiran, belum saatnya mati
dan mereka selalu berpikir selalu masih ada hari esok untuk hidup.
Bahkan mungkin saja, orang yang meninggal dalam perjalanannya ke
sekolah atau terburu-buru untuk menghadiri rapat di kantornya juga
berpikiran serupa. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa koran
esok hari akan memberitakan kematian mereka. Sangat mungkin, selagi
anda membaca artikel ini, anda berharap untuk tidak meninggal setelah
anda menyelesaikan membacanya atau bahkan menghibur kemungkinan
tersebut terjadi. Mungkin anda merasa bahwa saat ini belum waktunya
mati karena masih banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Namun
demikian, hal ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian dan
usaha-usaha seperti ini hanyalah hal yang sia-sia untuk
menghindarinya:
Katakanlah: "Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu
melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu
terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan
kecuali sebentar saja." (QS. 33:16)
Manusia yang diciptakan seorang diri haruslah waspada bahwa ia juga
akan mati seorang diri. Namun selama hidupnya, ia hampir selalu hidup
untuk memenuhi segala keinginannya. Tujuan utamanya dalam hidup
adalah untuk memenuhi hawa nafsunya. Namun, tidak seorang pun dapat
membawa harta bendanya ke dalam kuburan. Jenazah dikuburkan hanya
dengan dibungkus kain kafan yang dibuat dari bahan yang murah. Tubuh
datang ke dunia ini seorang diri dan pergi darinya pun dengan cara
yang sama. Modal yang dapat di bawa seseorang ketika mati hanyalah
amal-amalnya saja.
written by Yudhi
Jumat, 06 Februari 2009
Israel dan Kehancurannya
Dalam versi riwayat yang lain disebutkan ada sebuah pohon yang bernama " al-gharqad " pohon ini akan diam saja ketika ada orang yahudi yang bersembunyi dibelakang nya, karena pohon ini adalah milik yahudi.
Ketika salah seorang mantan perdana mentri Israel dimintai pendapat tentang kebenaran hadist ini, dia menjawab, " Ya, benar. Tapi yang dimaksud hadist tersebut bukanlah orang islam."
Kagetkah engkau mendengar nya ? Tentu saja. Tapi ternyata dia melanjutkan kata-kata nya, " Saat jumlah orang islam yang melaksanakan sholat subuh berjama'ah sama banyaknya dengan jumlah jama'ah sholat jum'at, barulah ramalan dalam hadist itu akan menjadi kenyataan."
Sungguh sebuah sindiran yang sangat pedas namun mengandung kebenaran bagi umat islam.
Kembali lagi ke hadist diatas, dilihat dari isnad maupun matan nya hadist tsb tidak ada masalah. Hadsit tsb termasuk hadist Shahih, yang wajib di percaya kebenaran nya oleh umat islam. Masalah kapan terjadi nya perang besar seperti disebutkan dlm hadist tsb. hanya Allah lah yang lebih tahu. Mungkin dizaman kita hidup atau mungkin dizaman anak cucu kita hidup nanti, Wa'llahu a'lam.
written by Yudhi at 2009-02-01
Kamis, 05 Februari 2009
alam Demokrasi yang kebablasan
Kemarin hasil dari yang namanya demokrasi telah kita lihat dengan jelas, nyawa akhirnya jadi tumbalnya, dan bahkan lebih banyak lagi sesuatu yang jadi korban untuk sebuah kata demokrasi
62 tahun sudah berlalu sejak proklamasi, sebagai awal dari lahirnya Indonesia, 62 tahun juga bangsa ini berada dalam alam kemerdekaan. Waktu yang tidak terlalu lama memang bila dibandingkan dengan masa terjajah yang dialami, namun ada baiknya bila kita merenungkan, akan seperti apa nasib bangsa ini selanjutnya?
Setelah melalui perdebatan dan perjuangan politik, Indonesia akhirnya ditetapkan menjadi sebuah negara penganut demokrasi. Perebutan kuasa antar tokoh baik yang berlatar Komunis, Nasionalis dan Islam mewarnai perjalanan sejarah tanah Ibu Pertiwi. Keinginan para tokoh Islam untuk memberikan porsi lebih banyak kepada Islam menjadi sebuah catatan tersendiri. Salah satu tuntutan yang diperjuangkan adalah pemberlakuan kembali Piagam Jakarta. Akan tetapi, tuntutan ini selalu kandas. NU sebagai organisasi umat Islam terbesar di negara ini akhirnya memunculkan sebuah jargon politik waliy al-amr ad-dharury bi as-syaukah, sebagai sebuah alternatif.
Perjuangan untuk menjadikan Syariat Islam sebagai sebuah sistem dalam kehidupan bernegara masih terus berlangsung, terbukti dengan muncul perda-perda yang bernuansa syari’ah. Tulisan ini tidak hendak mengkaji masalah tersebut, hanya ingin menyumbang buah fikir dan referensi, bagaimana dan seperti apa sesungguhnya Hukum (baca: Syariat) Islam? Dimana letak perbedaannya dengan Demokrasi? Dengan harapan kiranya bisa menambah wawasan kita, anak bangsa ini.
Hukum Islam
Dilihat dari etimologi, istilah “Hukum” berasal dari kata Hakama-Hukman-Hukumatan, yang berarti al-Qadha’ atau keputusan, al-Qarar atau as-Saytarah yang berarti ketetapan. Menurut Abdul Qadim Zallum kalimat al-Hukum, al-Mulk (kekuasaan) dan as-Sulthan (Penguasa) memiliki makna yang sama, yaitu kekuatan yang mampu menerapkan undang-undang, atau aktifitas pemerintahan yang diwajibkan oleh Syariat atas kaum muslimin, aktifitas ini adalah sebuah kekuatan yang digunakan untuk menolak kezaliman, melerai sengketa atau dengan kata lain hukum adalah kekuasaan pemerintah. Sedangkan aj-Jurjani mendefinisikan dengan lebih singkat, yaitu meletakkan sesuatu pada tempat yang seharusnya (1421 H : 91)
Prof Abu Zuhrah dalam kitab Ushul Fiqh mengatakan, definisi hukum menurut kalangan ulama ushul adalah khitab (firman) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan hamba yang mukallaf, baik khitab itu berupa tuntutan (wajib atau sunnat) atau kebolehan memilih (baca: mubah) atau berupa wadh’i yakni sebuah bentuk aturan yang sifatnya sebagai penghubung yang kemudian diklasifikasi dengan sebab, syarat dan penghalang. (Prof. Abu Zuhrah, tt: 27)
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, salah satu yang menjadi kesepakatan para ulama meskipun mereka berbeda mazhab adalah bahwa setiap yang timbul dari manusia, baik itu berupa perkataan maupun perbuatan, apapun bentuknya seperti ibadah, muamalah (sosial), tindak pidana ataupun lainnya, memiliki satu batasan hukum (Abdul Wahhab Khalaf, 1398 H/1978 M : 11). Hukum ini sebagian diterangkan dengan nash (tekstual) dari Alquran dan Assunnah, sebagian lagi tidak diterangkan secara jelas, namun syariat telah memberikan indikasi akan adanya hukum itu.
Berdasarkan definisi hukum di atas, tidak ada yang memiliki wewenang hukum selain Allah SWT. Karena syariat Islam adalah sebuah undang-undang agama yang semuanya dikembalikan kepada wahyu langit (baca: Alquran), maka yang berkedudukan sebagai pemilik wewenang hukum (baca: Hakim) adalah Allah SWT (Prof. Abu Zuhrah, tt : 69), setiap jalan untuk mengenal hukum merupakan sistem untuk mengenal hukum Allah SWT dan kedudukan manusia hanyalah sebagai khalifah atau wakil yang bertugas menerapkan ketetapan hukum tersebut. Jadi di dalam Islam tidak ada wewenang bagi siapapun untuk menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah SWT. Kendati demikian tidak semua kejadian dijelaskan hukumnya secara rinci dalam Alquran, karena Alquran bukanlah sebuah kitab undang-undang, namun sebuah kitab kumpulan firman Allah SWT yang merupakan sumber bagi pembuatan undang-undang.
Kumpulan hukum yang tidak diterangkan secara tekstual dalam Alquran dan Assunnah, namun telah digali oleh para ulama dan dirumuskan disebut dengan fiqh. Para ulama telah menetapkan bahwa dalil atau sandaran untuk merumuskan hukum harus dikembalikan kepada empat, yaitu: Alquran, Assunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dan yang menjadi asas bagi yang empat ini adalah Alquran, kemudian baru Assunnah yang menafsirkan, mengkhususkan, mengaitkan, menjelaskan dan menyempurnakan apa yang disebutkan dalam Alquran. Sedangkan Ijma’ adalah konsensus para mujtahid yang merupakan refresentatif umat di suatu dekade sesudah wafatnya Rasulullah SAW untuk menetapkan hukum dari sebuah kejadian.1 Otoritas Ijma’ dijamin oleh hadits. Adapun Qiyas adalah analogi suatu kejadian yang hukumnya belum ditetapkan Syariat kepada yang sudah ditetapkan berdasarkan Alquran atau Assunnah, karena memiliki kesamaan esensi dan sifat-sifat diantara dua kejadian itu.
Klasifikasi Hukum Islam
Dari sudut pandang ilmu ushul fiqh, hukum terbagi kepada dua bagian dasar yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Hukum Taklifi adalah Hukum yang berisi dengan tuntutan-tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan maupun tuntutan untuk meninggalkan ataupun kebolehan untuk memilih. Sedangkan Hukum Wadh’i adalah hukum yang sifatnya bukan sebuah perintah, larangan dan kebolehan, namun sebuah bentuk aturan yang sifatnya sebagai penghubung yang kemudian diklasifikasi dengan sebab, syarat dan penghalang.
Berbeda dengan ulama ushul, ulama fiqh mengkategorikan hukum dengan memandang kepada produk jadi hukum tersebut, yaitu:
1. Ibadat
Yaitu: Hukum yang mengatur hubungan individu dengan Tuhannya, yang terdiri dari Puasa, Sholat dan lain-lainnya yang berakibat pada kontrol diri dan kebaikan pribadi serta keberuntungan yang menyeluruh (Lihat Qs. al-Isra: 78, al-Baqarah: 183, al-Imran: 97).
2. Ahkam Usrah
Yaitu: Hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban individual dari lahir hingga wafatnya, yang terdiri dari Penyusuan, Pengampuan/Pengasuhan, Pencekalan, Perwalian, Perkawinan, Talak, Nafkah, Wasiat dan yang berhubungan dengan keadaan peninggalan dan lain-lainnya. Hal ini terkandung dalam Alquran sekitar 70 ayat, diantaranya Qs. ar-Rum: 21, ath-Tholaq: 1, an-Nisa: 11, al-Baqarah: 233.
3. Ahkam Mu’amalah Maliyah
Yaitu: Hukum yang mengatur hubungan antar personal yang berkaitan dengan mu’amalat (interaksi) diantara sesama mereka dari transaksi-transaksi, seperti Jual-beli, Sewa-menyewa, Gadai, Penunaian Transaksi dan Amanah. Hal ini diantaranya terkandung secara global dalam Alquran sekitar 70 ayat, diantaranya Qs. an-Nisa: 29, Ali-Imran: 130, al-Baqarah: 82.
4. Ahkam Maliyah ad-Daulah
Yaitu: Hukum yang mengatur pemasukan/pendapatan dan pengeluaran negara (APBN), sebagaimana hukum yang mengatur hubungan harta antara orang kaya dengan orang miskin, antara negara dengan warganya. Yang mengatur perbelanjaan dan pendapatan negara yang terdiri dari Kharaj, Zakat, Fay’i, Ghanimah dan lainnya. Terkandung dalam Alquran sekitar 10 ayat, diantaranya Qs. al-Anfal: 1, al-Anfal: 41, at-Taubah: 60.
5. Ahkam Dusturiyah
Yaitu: Hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara, dan batasan-batasan hak dan kewajiban keduanya. Dasar-dasar hukum ini terkandung secara global dalam Alquran sekitar 12 ayat, seperti dasar musyawarah dalam Qs. asy-Syura: 38, dasar hukum saling menjamin dalam Qs: al-Maidah: 2, patuh pada pemerintah dalam Qs. an-Nisa: 59.
6. Ahkam ad-Dauliyah
Yaitu: Hukum yang mengatur hubungan antar negara, baik dalam keadaan damai maupun perang, seperti Perlakuan terhadap tawanan, perjanjian, perdamaian dan gencatan senjata, penetapan hak dan kewajiban ahlu dzimmi. Dasar-dasar hukum ini terkandung secara global dalam Alquran sekitar 25 ayat, diantaranya Qs. al-Anfal: 61, at-Taubah: 36, Muhammad: 4, al-Baqarah: 190.
7. Ahkam al-Murafa’at
Yaitu: Hukum yang mengatur sistem peradilan, yang terdiri dari pengajuan dakwaan kehadapan hukum dengan keputusan yang menyatakan keadilan sempurna dan (keputusan yang membantu) setiap orang yang memiliki hak bisa mendapatkan haknya, seperti: Dakwaan, Saksi, Sumpah, Keputusan Pengadilan dan kewajiban untuk menegakkan keadilan. Secara global hukum ini terkandung dalam sekitar 13 ayat Alquran, diantaranya: Qs. al-Baqarah: 82, al-Maidah: 45.
8. Al-Jinayat wa al-‘Uqubat
Yaitu: Hukum yang mengatur tentang tindak pidana dan hukumannya. Hukum ini berfungsi untuk melindungi aqidah/agama, kehormatan pribadi, harta, akal dan anggota tubuh. Yang dimaksud dengan Jinayat adalah perbuatan manusia yang menyakiti baik menyakiti diri sendiri apalagi orang lain, seperti membunuh, menuduh berzina (qadzaf), mencuri, melakukan perzinahan, meminum khamar, membegal dll. Sedangkan yang dimaksud dengan Uqubat adalah hukuman yang terdiri dari Qishash, Hudud, dan Ta’zir. Secara global hukum al-Jinayat wa al-‘Uqubat ini terkandung dalam hampir 30 ayat Alquran, diantaranya: Qs. al-Baqarah: 178, al-Maidah: 38.
BERBEDA dengan Hukum Islam, Demokrasi adalah hasil akal budi manusia di bumi, yang pertama-tama bersandar pada asas vox populi vox Dei (suara manusia sebagai suara Tuhan). Merupakan sebuah bentuk/sistem pengelolaan pemerintahan yang embrionya dikembangkan di negara kota Athena zaman Pericles di abad kelima dan keempat sebelum Masehi.
Demokasi sebagai sistem yang berdaulat bermula dari revolusi Perancis tahun 1789 M, meskipun sistem perwakilan parlemen ini telah bermula di Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran sesungguhnya prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemikiran Demokrasi telah tersebar sebelum terjadinya revolusi Perancis selama beberapa puluh tahun, yaitu dalam tulisan-tulisan John Lock. Montesque, Jan Jack, orang-orang yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar kedaulatan rakyat.
Arti Demokrasi menurut para penganutnya adalah: kedaulatan rakyat. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas, tidak dikendalikan oleh kekuasaan apa pun selainnya. Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam membuat perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini terkadang rakyat mewakilkannya kepada orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para wakil tersebut mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan. Disebutkan dalam Mausu’atus Siyasah: Semua negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu, bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya, pada intinya demokrasi itu adalah kedaulatan di tangan rakyat.
Adapun Demokrasi Perwakilan: “Yaitu bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat. Maka parlemen dalam Demokrasi Perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah berasal dari Inggris dan Perancis kemudian berpindah ke negara-negara lain.
Yang menjadi landasan hukum Demokrasi adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi daripadanya sehingga kekuasaannya itu berasal dari rakyat tanpa ada batasan apa pun. Maka rakyat berhak berbuat apa saja dan membuat undang-undang semaunya tanpa ada seorang pun yang berhak untuk mengkritisinya. Dan hal semacam ini sesungguhnya merupakan hak preogratif Allah, sebagaimana Firman Allah SWT:
"Sesunguhnya Allah menetapkan hukum menurut kehendaknya, tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya” (Qs ar-Ra’d: 41)
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum menurut yang dikehendakiNya” (Qs. al-Maidah: 1).
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (Qs. al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67).
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (Qs. al-Hajj: 14).
Secara ringkas, Demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari Allah kepada manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat undang-undang. Dengan demikian maka Demokrasi menjadikan manusia sebagai Rabb (Tuhan) selain Allah, dan menjadikan manusia sekutu bagi Allah dalam membuat undang-undang. Dan perbuatan ini adalah Kufur Akbar yang tidak ada keragu-raguan lagi padanya.
Dengan ungkapan yang lebih detail lagi adalah bahwa Rabb (Tuhan) baru dalam Demokrasi adalah “kemauan manusia”. Sekelompok manusia membuat undang-undang sesuai dengan pemikiran dan kemauannya tanpa ada pembatas apa pun.
“Terangkanlah kepadaKu, tentang orang yang menjadikan keinginannya sebagai Ilahnya (Tuhannya). Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu” (Al-Furqan: 43-44).
Hal ini berarti menjadikan Demokrasi sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah rakyat, dan ini jelas bertentangan dengan Dinul Islam yang menegaskan bahwa pemegang kedaulatan adalah Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitabul Adab dengan sanad shahih, “Penguasa itu Allah Tabaroka wa Ta’ala”.
Ketika menerangkan penuhanan manusia di dalam Demokrasi, Ustadz Abul A’la Al-Maududi pendiri organisasi besar Ikhwanul Muslimin Mesir mengatakan, “Dasar-dasar kebudayaan Barat sesungguhnya, yaitu kebudayaan modern yang menjadi landasan peraturan hidup pada masa sekarang ini, dengan berbagai macam cabang-cabangnya, baik akidah, akhlak, perekonomian, politik dan intelektual, berfokus pada tiga pokok yaitu prinsip-prinsip pokok berikut: a) Sekulerisme, b) Nasionalisme, b) Demokrasi. (Selanjutnya beliau mengatakan) Adapun prinsip ketiga adalah Demokrasi atau Penuhanan terhadap manusia. Dengan menggabungkannya dua prinsip sebelumnya maka sempurnalah gambar bencana dan kelelahan-kelelahan dunia ini. Telah kukatakan tadi bahwa pengertian Demokrasi dalam kebudayaan modern adalah berkuasanya rakyat, artinya setiap penduduk negara merdeka pada segala hal yang berkaitan dengan merealisasikan kemaslahatan sosial mereka, dan perundang-undangan negara tersebut haruslah mengikuti keinginan mereka. (Sampai beliau mengatakan): Jika kita perhatikan prinsip tersebut, sekarang kita dapatkan bahwa Sekulerisme telah melepaskan manusia dari peribadahan, ketaatan dan ketakutan kepada Allah serta melepaskan dari ikatan-ikatan akhlak yang telah ditetapkan dan melepaskan tali belenggunya serta menjadikan mereka hamba diri mereka sendiri tanpa pertanggungjawaban di hadapan siapa pun.
(Kemudian Al-Maududi mengatakan) Dan saya katakan kepada umat Islam dengan terus terang: Sesungguhnya Demokrasi, Nasionalisme, dan Sekulerisme bertentangan dengan agama dan akidah yang kalian yakini dan jika kalian tunduk kepadanya maka benar-benar kalian telah meninggalkan Kitabullah di belakang kalian dan jika kalian ikut serta dalam menegakkannya atau dalam melanggengkannya (yakni Demokrasi, Nasionalisme dan Sekulerisme) maka berarti kalian telah mengkhianati Rasul kalian yang telah Allah utus kepada kalian. (Sampai beliau mengatakan) Maka selama sistem ini masih ada maka kami menganggap bahwa Islam itu tidak ada dan jika Islam itu ada maka tidak ada tempat bagi sistem ini.
Bila dalam demokrasi yang dicetuskan Barat, kedaulatan ada pada rakyat dan sebagai representatif adalah parlemen (padahal menurut Muammar Qathafi, “Bentuk kediktatoran paling tiran yang dikenal di dunia ini berada dibawah bayang-bayang parlemen”), maka dalam Islam ada satu bentuk sistem yang mirip yaitu yang dinamakan Majlis Syura. Akan tetapi kedaulatan yang dipegang oleh Majlis Syura tidaklah sebesar Parlemen, karena Majlis Syura hanya merumuskan hal-hal yang tidak bertentangan dengan Alquran dan al-Hadits. Karena menurut Islam kekuasaan yang sesungguhnya ada pada Allah SWT, dan Allah SWT telah mengutus rasul-Nya yang menyampaikan Alquran dan al-Hadist sebagai sumber hukum.
Memang sebagian kalangan yang berpendapat bahwa Majlis Syura adalah sama dengan Parlemen sebagaimana dituturkan oleh Syed Ibrahim bin Syed Abdurrahman dari Malaysia. Namun beliau menambahkan, “Tetapi dalam kontek Perlembagaan Islam, Majlis Syura adalah dianggotai oleh bilangan yang lebih kecil dianggap mereka yang layak dari segi peribadi, berilmu, wibawa dan taqwa. Jika Majlis Syura ini diwujudkan, ianya adalah lebih tinggi tarafnya daripada Parlimen (Parlemen. Pen) dan boleh menegur untuk pinda sebarang (segala macam. Pen) undang-undang yang diluluskan oleh Parlimen dan kuasa ini mengikut kaedah sekarang adalah sebahagian daripada kuasa kehakiman. Dalam kontek Islam Majlis Syura berperanan sebahagian daripada peranan eksekutif iaitu pembuat dasar dan sebahagian lagi berperanan sebagai peranan kehakiman iaitu mengawasi undang-undang yang dibuat oleh Parlimen.”
Renungan
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan adanya perbedaan yang jelas antara Hukum Islam dan Demokrasi ala Barat, Dalam Islam sumber hukum adalah Alquran dan al-Hadits, sedangkan dalam demokrasi sumber hukum adalah semata-mata akal manusia, dan manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat kerusakan (Lihat Qs. al-Baqarah: 30), serta sedikit sekali dari mereka yang selamat dari ajaran kesesatan Iblis, sebagaimana terekam dalam Qs. al-Israa’: 62, “Dia (Iblis) berkata: Terangkan kepadaku inikah orang yang Engkau muliakan atas diriku? (yakni Nabi Adam), sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil”. Sehingga kalau kita membuat suatu undang-undang berdasarkan akal semata tidak mustahil akan menghasilkan sebuah peraturan yang hanya akan berkiblat kepada nafsu belaka. Alangkah baiknya bila kita merenungkan ayat Alquran berikut:
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin” (Qs. al-Maaidah:56)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maidah:44)
Masihkah kita mempertahankan sistem yang selama ini dianut, ataukah akan berpaling kepada Islam? Jawabannya ada pada kita masing-masing.***
Oleh: Abu Zein Fardany*