Hidup, menurut orang Dayak Ngaju yang tinggal di sepanjang sungai Kapuas, Kahayan, Katingan, Rungan, Manuhing dan Mentaya merupakan suatu hasil benturan dua kekuatan. Alam semesta terbentuk karena adanya benturan antara benda-benda langit yang dengan dahsyatnya menyemburkan api-api yang terpercik kemana-mana dan kemudian membentuk alam semesta. Alam itu kemudian terbagi atas alam yang dikuasai oleh Ranying Mahatala Langit dan dunia bawah yang dikuasai oleh Jata atau Tambun. Walaupun terdapat dua mahadewa tersebut, namun pada hakekatnya kedua mahadewa tersebut adalah satu, sebaba Jata sebenarnya tidak lain adalah bayang-bayang dari Ranying Mahatala Langit sendiri. Keduanya berbeda dan memiliki daya hidup serta kekuasaan sendiri-sendiri, tetapi keduanya memebentuk suatu keutuhan kosmis. Jika salah satu dari keduanya dihilangkan maka keseimbangan kosmis akan terganggu.
Manusia sendiri tercipta akibat terjadinya benturan berupa perkelahian antara dua ekor enggang, yaitu enggang jantan dan enggang betina yang sedang mencari dan memakan buah dari Pohon Kehidupan atau Batang Garing. Enggang betina mulai bergerak dari bawah pohon sedangkan enggang jantan bergerak dari puncak ke bawah. Ketika kedua enggang bertemu maka perkelahian hebat yang berakhir dengan matinya kedua burung tersebut setelah memporakporandakan Batang Garing. Bagian-bagian dari Batang Garing yang berserakan dan bertebaran dimana-mana kemudian memunculkan berbagai kehidupan termasuk manusia laki-laki dan manusia perempuan.
Dari wawasan dasar tentang kosmis tersebut, orang-orang dayak Ngaju menganggap bahwa kosmis ini akan selalu berisikan dua kekuatan yang bisa bertentangan dan berbenturan untuk kemudian membentuk suatu kehidupan baru. Benturan-benturan bukanlah hal yang dianggap menakutkan, sebaliknya dianggap sebagai kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Karena itu orang-orang Dayak harus selalu bersifat terbuka dan siap menanggung kesulitan-kesulitan yang terjadi, karena benturan-benturan antara kebudayaan dan tata nilai mereka yang lama dengan kebudayaan dan tata bilai baru yang mungkin saja sangat bertentangan dengan kebudayaan dan tata nilai tradisional mereka. Justru dengan memanfaatkan benturan-benturan tersebut orang-orang Dayak akan mampu menyusun suatu tatanan baru yang lebih sesuai dan yang memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
Batang Garing dan Bagian-bagiannya Sebagai Lambang
Pohon Batang Garing berbentuk tombak dan menunjuk ke atas. Pohon ini melambangkan Ranying Mahatala Langit. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Dengan demikian disampaikan pesan bahwa dunia atas dan dunia bawah pada hakikatnya bukanlah dua dunia yang berbeda, tetapi sebenarnya merupakan suatu kesatuan dan saling berhubungan.
Dahan-dahan pohon berlekuk sedemikian rupa untuk melambangkan Jata sedangkan daun-daun berbentuk ekor burung enggang. Di sini juga dilambangkan bahwa kesatuan itu tetap dipertahankan.
Buah Batang Garing ini, masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan tiga yang menghadap ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sekali lagi diingatkan bahwa turunan manusia harus mengarahkan pandangannya bukan hanya ke atas, tetapi juga ke bawah. Dengan kata lain manusia harus menghargai Ranying Mahatala Langit dan Jata secara seimbang. Ditafsirkan menurut pengertian kontemporer, orang Dayak haruslah mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan keduniaan dan kepentingan akhirat.
Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini. Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.
disusun oleh :
Teras Mihing, Ph.D
Palangkaraya, 15 Juli 1986
Senin, 03 Agustus 2009
Langganan:
Postingan (Atom)